Penguasaan Atending dalam Proses Konseling
Dalam upaya untuk melakukan konseling yang profesional maka diperlukan penguasaan atending yang menyangkut bahasa verbal dan non verbal dalam proses konseling.
Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor dengan klien, yang mungkin antara konselor dan klien memiliki latar sosial dan budaya yang berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuain diri antar budaya, yaitu : (a) perbedaan bahasa; (b) komunikasi non-verbal; (c) stereotipe; (d) kecenderungan menilai; dan (e) kecemasan. Kurangnya penguasaan bahasa yang digunakan oleh pihak-pihak yang berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa non-verbal pun sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak belakang.
Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau golongan tertentu berdasarkan prasangka subyektif (social prejudice) yang biasanya tidak tepat. Penilaian terhadap orang lain disamping dapat menghasilkan penilaian positif tetapi tidak sedikit pula menimbulkan reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang individu memasuki lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan yanmg berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju ke culture shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa, dimana dan kapan harus berbuat sesuatu. Agar komuniskasi antara konselor dengan klien dapat terjalin harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu diantisipasi.
Hambatan-hambatan diatas akan dapat dileiminir dengan baik ketika seorang konselor piawai dalam menata prilaku attending. Prilaku attending adalah suatu keterampilan menghampiri, menyapa, dan membuat klien agar betah dan mau berbicara dengan konselor. Atau dalam bahasa Dr. H. Juntika Nurihsan attending dipahami sebagai kehadiran secara psikologis, bukan hanya kehadiran secara fisik, tetapi kehadiran psikologis jauh lebih berpengaruh dalam menentukan intensitas komunikasi yang dibangun.
Dalam prilaku attending tardapat suatu komponen penting yang harus diperhatikan, karena hal ini merupakan dasar utama dalam prilaku attending, yaitu bahasa non-verbal yang mencakup (kontak mata dan bahasa badan). Selain bahasa verbal tentunya.
Karena perilaku attending yang baik dapat :
1. Meningkatkan harga diri klien.
2. Menciptakan suasana yang aman
3. Mempermudah ekspresi perasaan klien dengan bebas.
Contoh perilaku attending yang baik :
- Kepala : melakukan anggukan jika setuju
- Ekspresi wajah : tenang, ceria, senyum
- Posisi tubuh : agak condong ke arah klien, jarak antara konselor dengan klien agak dekat, duduk akrab berhadapan atau berdampingan.
- Tangan : variasi gerakan tangan/lengan spontan berubah-ubah, menggunakan tangan sebagai isyarat, menggunakan tangan untuk menekankan ucapan.
- Mendengarkan : aktif penuh perhatian, menunggu ucapan klien hingga selesai, diam (menanti saat kesempatan bereaksi), perhatian terarah pada lawan bicara.
Contoh perilaku attending yang tidak baik :
- Kepala : kaku
- Muka : kaku, ekspresi melamun, mengalihkan pandangan, tidak melihat saat klien sedang bicara, mata melotot.
- Posisi tubuh : tegak kaku, bersandar, miring, jarak duduk dengan klien menjauh, duduk kurang akrab dan berpaling.
- Memutuskan pembicaraan, berbicara terus tanpa ada teknik diam untuk memberi kesempatan klien berfikir dan berbicara.
- Perhatian : terpecah, mudah buyar oleh gangguan luar.
Robert R. Carkhuff dalam The art of Helping, menegaskan bahwa terdapat tiga tingkatan keterampilan attending “One way of structuring personal attending while sitting is to view ourselves in terms of the skills involved. Indeed, we may rate ourselves as follows according to our demonstration of the skills”.
· High attending : Squared, eye contact, and leaning 20 degrees or more
· Moderate attending : Squared, eye contact
· Low attending : Not squared, slouching
A. Bahasa Non Verbal (nonverbal communication)
Bahasa tubuh atau sering disebut body language, ternyata menyumbang sebagian besar kesuksesan dalam komunikasi. Setidaknya keberhasilan sebuah komunikasi, 55% nya dipengaruhi oleh bahasa tubuh yang tepat. Kata-kata, yang menjadi andalan ternyata hanya menyumbang 7% dan 38% nya disumbangkan oleh intonasi atau nada bicara.
Mengingat begitu besarnya pengaruh bahasa tubuh terhadap keberhasilan sebuah komunikasi, maka disini akan dibahas bahasa tubuh seperti apa yang mampu mendongkrak komunikasi yang efektif. Kita singkat saja dengan akronim S – O – F – T – E – N. Jika dirinci akan menjadi gabungan kata berikut:
Menjadi konselor yang efektif dalam sebuah percakapan tidak hanya dipengaruhi oleh baik buruknya kalimat dan pilihan kata yang digunakan. Ada hal yang lebih menentukan dan berdampak lebih besar dari hal tersebut, yaitu penggunaan bahasa tubuh yang baik dan empatik. Don Gabor dalam bukunya yang berjudul ”How to start a conversation and make friends” mengemukakan gagasannya mengenai penggunaan bahasa tubuh yang baik dengan istilah “SOFTEN”. Soften secara bahasa berarti melembutkan, berarti dengan menggunakan teknik-teknik yang disingkat dengan istilah ”SOFTEN” ini, membuat percakapan Anda menjadi lebih melembutkan. Teknik ”SOFTEN” ini adalah singkatan dari :
S = Smile
O = Open Arms
F = Forward Lean
T = Touch
E = Eye Contact
N = Nod
S = SMILE ( Senyum )
Senyum manis adalah indikasi yang kuat dari sikap ramah dan terbuka serta kesediaan untuk berkomunikasi. Senyum merupakan sinyal non verbal reseptif yang dikirimkan dengan harapan orang lain juga ikut tersenyum. Ketika kita tersenyum, memperlihatkan bahwa kita memperhatikan orang tersebut secara positif. Tersenyum tidak berarti harus memasang wajah dibuat-buat atau berpura-pura selalu gembira, akan tetapi ketika Anda melihat orang yang Anda kenal tersenyumlah.
Dengan tersenyum kita memperlihatkan sikap terbuka untuk melakukan percakapan. Wajah manusia banyak sekali mengirimkan sinyal verbal dan non verbal. Jika dipadukan antara sinyal verbal yang baik dengan sinyal non verbal yang bersahabat maka kita akan terkejut dengan respon yang akan didapatkan. Padukanlah senyum yang ceria dengan kata-kata yang ramah, kemudian lihatlah respon apa yang kita dapatkan dari lawan bicara Anda.
Senyum tulus tidaklah bisa direkayasa. Mungkin kita bisa saja memaksakan untuk tersenyum meskipun suasana hati sedang tidak bahagia. Tapi yakinlah, kalau senyum yang keluar tidak semanis jika kita tersenyum karena dorongan suasana hati yang bahagia. Mungkin senyum yang keluar menunjukkan gerakan ujung bibir yang tidak simetris, sehingga lebih tampak mencibir daripada tersenyum. Atau senyum yang diiringi gerakan mata yang melirik sinis, tentu hasilnya bukanlah senyum yang menyenangkan bagi orang lain.
Dale Carnegie dalam bukunya yang terkenal, “Bagaimana mencari kawan dan mempengaruhi oranglain ” menceritakan:
“Wajah merupakan cermin yang tepat bagi perasaan hati seseorang. Wajah yang ceria, penuh senyuman alami, senyum tulus adalah sebaik-baik sarana memperoleh teman dan kerja sama dengan pihak lain. Senyum lebih berharga dibanding sebuah pemberian yang dihadiahkan seorang pria. Dan lebih menarik dari lipstik dan bedak yang menempel di wajah seorang wanita. Senyum bukti cinta tulus dan persahabatan yang murni.”
Carnegie menambahkan, “Ingatlah, bahwa senyum tidak membutuhkan biaya sedikitpun, akan tetapi membawa dampak yang luar biasa. Tidak akan menjadi miskin orang yang memberinya, justeru akan menambah kaya bagi orang yang mendapatkannya. Senyum juga tidak memerlukan waktu yang bertele-tele, namun membekas kekal dalam ingatan sampai akhir hayat. Tidak ada seorang fakir yang tidak memilikinya, dan tidak ada seorang kaya pun yang tidak membutuhkannya.”
O = OPEN ARMS ( Tangan Terbuka )
Gerakan tangan terbuka menunjukkan adanya sebuah penerimaan sosal. Sedangkan sebaliknya gerakan tangan menyilang membuat kita tampak tertutup untuk melakukan pembicaraan maupun untuk melakukan interaksi lainnya. Baik itu dilakukan dalam kondisi duduk maupun dalam kondisi berdiri. Apalagi jika ditambah dengan gerakan tangan menutup mulut, akan mengesankan menjadi seorang yang sedang berpikir keras, dan seperti melemparkan pesan “jangan ganggu saya”. Bayangkan jika kita bertemu dengannya, apakah kita mau berbincang dengan mereka yang berarti kita menyela keseriusannya dalam berpikir keras ?
F = FORWARD LEAN ( Condongkan Badan Ke Depan )
Mencondongkan badan kedepan menunjukkan ketertarikan kepada pembicaraan yang sedang dilakukan sedangkan sebaliknya seseorang yang mencondongkan badannya ke belakang menunjukkan ia tidak tertarik dengan pembicaraan yang dilakukan. Seseorang yang mendapati lawan bicaranya melakukan gerakan condong kedepan biasanya akan lebih merasa dihormati. Jauh lebih baik untuk melakukan gerakan condong ke depan secara rileks dan alami. Dengan begitu berarti kita sedang mengatakan : “Saya tertarik mendengar pembicaraan Anda, saya mendengarkannya dengan seksama dan saya akan terus mendengarkan pembicaraan Anda sampai selesai”. Catatan penting yang harus diperhatikan adalah berhati-hatilah dengan ruang pribadi lawan bicara. Posisi yang terlalu dekat juga seringkali membuat seseorang tidak nyaman dalam berbicara, pastikan kita berada pada posisi jarak yang tepat.
T = TOUCH ( Sentuhan )
Berjabatan tangan adalah salah satu teknik yang baik dalam membangun sebuah percakapan yang menarik. Jadilah orang pertama yang mengulurkan tangan untuk saling berjabatan, maka kita akan membuat percakapan menjadi lebih menarik. Sertailah uluran tangan ini dengan memberikan salam yang ramah, tersenyum manis, dan menyebutkan nama, maka itu berarti kita telah memecahkan batu karang penghambat komunikasi dan membuka saluran komunikasi dengannya menjadi semakin lancar. Penting pula untuk mengakhiri percakapan dengan berjabatan tangan yang hangat dan bersahabat, dalam situasi helping relationship maupun sosial. Sertailah dengan senyuman ceria dan pernyataan bersahabat. Itulah yang akan menjadi kesan yang tak terlupakan dalam pembicaraan kita.
E = EYE CONTACT ( Kontak Mata )
Pengaruh yang paling kuat dari gerak tubuh adalah pengaruh yang dikirmkan melalui gerakan mata. Kontak mata langsung memperlihatkan bahwa kita benar-benar ingin mendengarkan apa yang akan dan sedang disampaikannya. Sertai kontak mata dengan senyuman yang tulus, karena itu dapat menghindarkan dari kesan “power struggle”. Kontak mata perlu diperhatikan sisi intensitasnya. Tatapan mata terlalu sering bisa mengakibatkan lawan bicara kita merasa tidak nyaman dan menimbulkan kecurigaan terhadap maksud dan tujuan Anda. Jika kita merasa kesulitan untuk menjaga kontak mata, cobalah saran berikut ini. Mulailah dengan kontak mata secara singkat, mungkin hanya beberapa detik, dan jangan lupa sertai dengan senyuman yang ramah dan tulus. Kemudian boleh beberapa saat mengalihkan pandangan ke arah lain, namun setelah beberapa saat kembalilah menatap kembali lawan bicara persis pada kedua matanya. Satu hal yang perlu diingat, buatlah senyaman mungkin, dan pembicaraan akan mengalir dengan mudah dan menyenangkan.
N = NOD ( Anggukan Kepala )
Anggukan kepala menunjukkan kita memahami dan mendengarkan apa yang sedang disampaikan. Anggukan juga biasanya menunjukkan persetujuan sehingga mendorong lawan bicara untuk tetap nyaman dalam menyampaikan pesan-pesan yang sedang dibicarakannya. Anggukan kepala disertai dengan senyuman yang ramah juga dapat digunakan untuk menyapa orang lain yang anda temui, karena anggukan itu seperti bahasa tubuh pelembut lainnya mengirimkan pesan yang sama yaitu, ”Saya akan dengan senang hati berkomunikasi dengan Anda”.
Satu hal yang penting untuk diperhatikan adalah bahasa tubuh tidak untuk menggantikan bahasa verbal yang Anda gunakan. Jika kita hanya menggunakan bahasa tubuh saja untuk berkomunikasi maka akan banyak menemukan kekeliruan dalam berkomunikasi. Komunikasi secara menyeluruh adalah gabungan dari bahasa verbal, nada suara dan bahasa tubuh. Menggunakan ketiganya secara harmonis akan menghasilkan suatu hal yang luar biasa, yaitu keajaiban komunikasi.
B. Bahasa Verbal (verbal communication)
Komunikasi verbal (verbal communication) merupakan salah satu bentuk komunikasi yang disampaikan kepada pihak lain melalui tulisan (written) dan lisan (oral). Tanpa komunikasi verbal, komunikasi non verbal yang kaya makna akan menjadi sesuatu yang ambigu dan akan mengakibatkan salah penafsiran. Dengan demikian prilaku attending yang dasar utamanya adalah aktivitas non verbal harus dibalut dengan kelokan komunikasi lisan, sebuah sinergi yang ampuh dalam kemantapan helping relationship maupun komunikasi sosial lainnya.
Dalam menata komunikasi lisan ini, Aribowo Prijosaksono dan Ping Hartono dalam buku Make Yourself A Leader yang menulis Lima Hukum Komunikasi Yang Efektif (The 5 Inevitable Laes of Effective Communication). Lima hukum ini dikembangkan dan dirangkum dalam satu kata yang mencerminkan esensi dari komunikasi, yaitu REACH, yang berarti merengkuh atau meraih. Pada dasarnya komunikasi adalah upaya kita untuk meraih perhatian, cinta kasih, minat, kepedulian, simpati, tanggapan, maupun respon positif dari orang lain.
Hukum #1: Respect
Rasa hormat dan saling menghargai (respect) merupakan hukum pertama dalam kita berkomunikasi dengan orang lain. Kita harus ingat bahwa manusia selalu ingin dihargai dan dianggap penting. Jika kita harus mengkritik atau memarahi seseorang, kita bisa melakukan dengan penuh respek terhadap harga diri dan kebanggaan seseorang. Jika kita membangun komunikasi dengan rasa dan sikap saling menghargai dan menghormati, kita dapat membangun kerjasama yang menghasilkan sinergi yang akan meningkatkan efektifitas kinerja kita baik secara individu maupun secara keseluruhan sebagai sebuah tim.
Menurut Dale Carnegie dalam bukunya How to Win Friends and Influence People, rahasia terbesar yang merupakan salah satu prinsip dasar dalam berurusan dengan manusia adalah dengan memberikan penghargaan yang jujur dan tulus. Seorang ahli psikologi yang sangat terkenal William James juga mengatakan bahwa prinsip paling dalam pada sifat dasar manusia adalah kebutuhan untuk dihargai. Sifat ini merupakan rasa lapar manusia yang harus dipenuhi (bukan harapan atau keinginan yang bisa ditunda). Lebih jauh Carnegie mengatakan bahwa setiap individu yang dapat memuaskan kelaparan hati ini akan menggenggam orang dalam telapak tangannya.
Hukum #2: Empathy
Empati adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu prasarat utama dalam memiliki sifat empati adalah kemampuan kita untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain.
Secara khusus Covey menempatkan kemampuan mendengarkan sebagai salah satu dari tujuh kebiasaan manusia yang sangat efektif. Covey mnyebutnya sebagai komunkasi empatik, yaitu kebiasaan untuk mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti. Kita perlu memahami dan mendengar orang lain terlebih dahulu untuk dapat membangun keterbukaan dan kepercayaan dalam membangun sinergi dengfan orang lain. Rasa empati akan memampukan kita untuk menyampaikan pesan (message). Cara dan sikap empati juga akan memudahkan penerima pesan (receiver) menerima pesan yang kita sampaikan.
Dalam komunikasi untuk membangun kerjasama tim, rasa empati sangat memegang peranan. Dengan empati kita bisa memahami perilaku anggota tim kita, seperti kebutuhan, keinginan, minat, harapan, dan kesenangan mereka. Rasa empati akan menimbulkan respek. Rasa respek akan membangun kepercayaan yang merupakan unsur utama dalam membangun teamwork.
Dalam membangun komunikasi dengan empati, kita harus mempunyai kemampuan untuk mendengar dan siap menerima masukan apa pun dengan sikap positif. Banyak di antara kita yang tidak mau mendengarkan saran, apalagi kritik dari orang lain. Padahal esensi dari komunikasi adalah aliran dua arah. Komunikasi satu arah tidak akan efektif manakala tidak ada umpan balik (feedback) yang merupakan arus balik dari penerima pesan.
Dalam membangun komunikasi dengan empati, kita harus mempunyai kemampuan untuk mendengar dan siap menerima masukan apa pun dengan sikap positif. Banyak di antara kita yang tidak mau mendengarkan saran, apalagi kritik dari orang lain. Padahal esensi dari komunikasi adalah aliran dua arah. Komunikasi satu arah tidak akan efektif manakala tidak ada umpan balik (feedback) yang merupakan arus balik dari penerima pesan.
Hukum #3: Audible
Pesan yang kita sampaikan harus audible, artinya pesan dapat diterima dan dimengerti oleh penerima pesan dengan baik. Dari sisi kebulatan berbicara menjadi penting sehingga pesan bisa diterima dan mudah ditangkap/cerna.
Hukum #4: Clarity
Hukum keempat dalam membangun komunikasi yang efektif adalah pesan yang kita sampaikan harus jelas sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berlainan. Pesan yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran akan menimbulkan dampak yang tidak sederhana. Clarity dapat pula berarti keterbukaan. Dalam berkomunikasi kita perlu mengembangkan sikap transparan sehingga dapat menimbulkan rasa percaya dari penerima pesan atau anggota tim kita. Keterbukaan akan mencegah timbulnya sikap saling curiga yang akan menurunkan semangat dan antusisme tim kita.
Hukum #5: Humble
Hukum kelima dalam membangun komunikasi yang efektif adalah sikap rendah hati. Sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan hukum pertama, yaitu respect. Untuk membangun rasa menghargai orang lain, biasanya didasari oleh sikap rendah hati yang kita miliki. Sikap rendah hati adalah sikap yang penuh melayani, sikap menghargai, mau mendengar dan menerima kritik, tidak sombong, tidak memandang rendah orang lain, berani mengakui kesalahan, rela memaafkan, lemah lembut dan penuh pengendalian diri, serta mengutamakan kepentingan yang lebih besar.
Jika kita membangun komunikasi berdasarkan pada lima hukum pokokkomunikasi yang efektif ini, kita dapat menjadi seorang komunikator yang handal yang dapat membangun jaringan hubungan dengan orang lain dengan penuh penghargaan (respect), karena hal inilah yang dapat membangunhubungan jangka panjang yang saling menguntungkan dan saling menguatkan.
REFERENSI
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Carkhuff, R. Robert. 1985. The art of Helping. Human Resource Development Press.
Calvin S. Hall & Gardner Lidzey (editor A. Supratiknya). 2005. Teori-Teori Psiko Dinamik (Klinis) : Jakarta : Kanisius
Gendler, Margaret E..1992. Learning & Instruction; Theory Into Practice. New York : McMillan Publishing.
Gerlald Corey. 2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (Terj. E. Koswara), Bandung : Refika
Moh. Surya. 2009. Psikologi Konseling. Maestro. Bandung
Muhibbin Syah. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Raja Grafindo
Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfab
Semoga Bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar